Halo, teman2 pembaca setia blog
saya
Kali ini saya mau share pendapat
saya tentang novel lumayan tebal yang dulu pernah saya baca.
Mehrunnisa The
Twentieth Wife
Gambar Sampul depan
Penulis : Indu
Sundaresan
Apakah buku yang sedang saya
review ini beli sendiri? Tentu saja tidak. Ini punya saudara saya. He he...
Novel drama percintaan bukanlah tipe buku yang biasa saya hunting di toko buku.
Buku cerita yang pernah saya beli, kalau ngga genre komedi, ya cerita misteri/
detektif biasanya dan buku motivasi.
Jujur hanya dengan membaca judul novel
ini saja, bikin naluri wanita saya rada merinding. The twentieth wife... busett
dah... istri keduapuluh... Jaman dulu yg namanya keluarga kerajaan tu istrinya
banyak2 ya. Ga bisa bayangin ntu punya istri dua puluh kapan bagi waktunya,
belon lagi ngurusi tugas negara, belon lagi bagi kasih sayang ama anak2nya. Ah,
kurang kerjaan amat dah gue mikir ginian.
Novel ini adalah seri pertama
dari trilogi Taj Mahal yang semuanya ada 3 buku karya Indu Sundaresan. Tokoh
utama disini adalah seorang wanita bernama Mehrunnisa. Di novel ini dikisahkan
mulai dari kelahiran Mehrunnisa, latar belakang keluarganya, juga perjuangan
hidupnya mulai dari pertama dia jatuh cinta saat melihat Sultan Jahangir dan
bercita2 untuk menjadi isterinya. Latar belakang novel ini adalah kesultanan
Mughal India yang menganut budaya keislaman.
Kita perempuan hidup di jaman
sekarang perlu banyak bersyukur. Sebab kalau membaca novel ini, posisi wanita
di jaman dulu itu sangat dibatasi. Di dalam novel ini, perempuan seolah tidak
bisa menentukan nasib sendiri, terikat oleh adat, pandangan masyarakat, aturan dan
budaya yang demikian ketat. Nasib perempuan kala itu, dengan menjadi
selir dan tinggal di zenana istana adalah peningkatan derajat. Sedangkan para
selir yang dibuang, akan menjadi terhina di masyarakat. Hhmm... pola yang cukup
mengerikan saya bilang. Perempuan pada masa itu kebanyakan menemukan suami
dengan cara dijodohkan oleh pihak keluarga. Sepertinya perempuan tidak punya
kekuasaan untuk menentukan cita2nya sendiri. Boro2 perempuan mau menempuh
pendidikan tinggi dan bekerja, lha wong keluar rumah saja dibatasi.
Diceritakan juga bahwa dalam
keluarga kerajaan, ada yang namanya pernikahan politik. Para Sultan dari
generasi ke generasi menikah dengan tujuan politik, untuk mempersatukan pihak2
yang punya kekuatan dan meluaskan kekuasaan juga melebarkan pengaruh serta
memperbanyak pendukung. Demikian juga dengan Sultan Jahangir. Pernikahan2
awalnya ditentukan oleh ayahnya dengan membawa kepentingan politik.
Saya suka dengan gaya bahasa penulis,
puitis dan cukup mencerminkan budaya timur. Ini masuk novel percintaan tapi cara
penceritaannya tidak vulgar seperti halnya kebanyakan novel2 dengan genre yang sama karya penulis barat. Kalau yg nulis orang barat, biasanya penggambaran sisi erotik dalam cerita percintaan tu kadang nyampe bikin nelen ludah, wkkk... Alur ceritanya mengalir dengan begitu menarik dari awal sampai
akhir. Membuat yang baca tidak terasa waktu berlalu, dan ingin segera melanjutkan membaca
bagian berikutnya. Saya tamat baca novel ini kurang lebih 6 hari an. Saya baca
kalau pas senggang aja sih.
Dalam novel ini digambarkan
betapa kekuasaan adalah suatu kenikmatan tersendiri. Menjadi berkuasa adalah
suatu kepuasan yang tak bisa digambarkan, bebas mewujudkan keinginan.
Memerintah, dimana semua tunduk dalam keputusan, dimana bisa menentukan banyak
hal, menguasai banyak orang, adalah sesuatu yang begitu menggiurkan. Maka tak
heran bahwa keinginan akan kekuasaan bisa membuat seseorang lupa diri, termasuk
Sultan Jahangir yang sempat khilaf dengan berencana meracuni ayahnya sendiri
agar dapat segera berkuasa.
Pada masa itu, Mehrunnisa adalah
perempuan cerdas yang memiliki pemikiran yang berbeda dari perempuan
kebanyakan. Dia punya cita2, ide dan kemampuan berpikir yang di atas rata2. Banyak
pengetahuan dan pembelajaran didapatnya dari kedekatannya dengan ayahnya. Dengan
kepandaiannya, dia berhasil menarik hati Ruqayya, permaisuri Sultan Akbar. Kedekatannya
dengan Ruqayya membuat dia bisa mengerti seluk beluk lingkungan istana.
Namun bagaimanapun pandainya dia,
Mehrunnisa hanyalah seorang perempuan yang hanya bisa pasrah ketika dijodohkan
dengan seorang prajurit bernama Ali Quli yang kala itu dianggap berjasa dan
berprestasi di mata Sultan Akbar. Ayah Mehrunnisa sebenarnya tahu putrinya
tidak setuju, namun dia tak bisa berbuat apa2.
Mehrunnisa dengan penuh
keterpaksaan menjalani pernikahannya dengan Ali Quli, yang digambarkan sebagai seorang
prajurit berpenampilan dan berpembawaan kasar yang sama sekali tak memikat
sedikitpun di hatinya. Mehrunnisa menikah dengan orang yang tak bisa membuatnya
berhasrat menginginkan laki2 tersebut. Ali Quli tak bisa membuat Mehrunnisa
mencintainya. Ini seperti seorang wanita yang membaktikan tubuhnya pada suami
dalam ikatan pernikahan, namun hati dan pikirannya berada jauh di tempat
lain... Di tempat yang lebih tinggi yang tak bisa ia jangkau. Mehrunnisa sudah
memimpikan Sultan Jahangir selama bertahun2 sejak dia pertama melihatnya. Dan
pernikahannya dengan Ali Quli yang dijalani dengan terpaksa membuatnya tidak
bahagia. Mungkin itulah kenapa dia berkali2 mengalami keguguran.
Kalau saya baca penggambaran
cerita ini, dari sisi Ali Quli, dia sebenarnya menyadari bahwa Mehrunnisa tidak
sepenuh hati menikah dengannya. Ali Quli tahu dia hanyalah seorang prajurit dan
berasal bukan dari kalangan bangsawan. Dan dia pun menyadari tatapan orang tua
dan keluarga dari pihak istrinya juga dari Mehrunnisa ketika dia meminangnya.
Bahwa mereka melihat Ali Quli sebagai seorang yang bukan dari golongan yang
sama, bukan tipe yang diinginkan untuk bersanding dengan Mehrunnisa. Ali Quli
juga menyadari keterpaksaan istrinya dalam berumahtangga dengannya. Ketidaktulusan
Mehrunnisa... Dia bisa merasakannya, Mehrunnisa tidak bisa mencintainya, sikap
istrinya terkesan dingin padanya, tidak pernah terlihat bahagia bersamanya, dan
menunjukkan bahwa istrinya tidak menginginkannya sebagai suami. Itu membuatnya
marah dan frustasi. Juga kenyataan Mehrunnisa berkali2 keguguran membuatnya
berpikir bahwa memang istrinya tak mau mengandung anak darinya. Sebagai
pelarian rasa marah dan ego seorang suami yang merasa tidak dihargai, dia
kemudian berselingkuh dengan seorang budak yang bekerja di rumahnya. Dengan
begitu dia mencoba mendapatkan kepuasan batin yang tidak didapat dari pelayanan
istrinya kepadanya.
Dimana kebanyakan pembaca
mengkritisi Ali Quli sebagai tokoh yang tidak diinginkan. Pada tulisan di atas,
saya coba melihat tokoh Ali Quli ini dari sudut pandangnya.
Setelah Ali Quli tiada,
Mehrunnisa kembali ke rumah keluarganya. Dan takdir membuatnya bertemu kembali
dengan Sultan Jahangir. Dia menolak menjadi selir Sultan karena dia tahu dari
kedudukan itu dia tak akan bisa memberi dukungan lebih pada Sang Sultan. Dia
ingin dinikahi menjadi istri Sultan agar dia bisa berbuat lebih banyak sebagai
pengabdian terhadap Sultan yang sangat ia cintai.
Mehrunnisa adalah satu2nya istri
yang dinikahi Sultan Jahangir tanpa muatan politik. Dialah satu2nya wanita yang
dinikahi Sultan karena alasan cinta.
Di novel ini tergambar sistem
pemerintahan kerajaan bahwa tampuk tertinggi ada pada satu orang yaitu Raja.
Dan yang akan meneruskan pemerintahan adalah keturunan dari Raja tersebut. Dalam
latar cerita ini, karena kerajaan Islam maka gelar yang dipakai Sang Raja
adalah Sultan. Keputusan Sultan adalah mutlak. Dia bisa memerintahkan apa saja.
Mulai dari hukuman mati terhadap orang yang tidak ia kehendaki sampai
memutuskan siapa harus menikah dengan siapa. Cukup ngeri saya rasa kalau
kekuasaan model begini. Which means selain keturunan raja maka gak ada yang
berkesempatan jadi pemimpin walau dia layak. Masalah kasta juga digambarkan
dalam cerita ini.
Ada yang namanya warga istana,
lingkungan harem yang hidup bermewah2 dan terjamin, pejabat2 dan orang2 istana.
Diluar itu, adalah rakyat biasa yang harus bekerja keras untuk hidup dan
menyetor pajak. Iya, pajak pemasukan untuk istana, yang juga digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dalam standar kehidupan istana. Termasuk ratusan selir dan
para wanita dalam ‘zenana’ kesultanan yang tiap hari hidup dalam kemewahan.
Iyah... begono ceritanya.
Beruntung yah kita sekarang yang hidup di negara demokrasi...
Kesimpulan saya, novel ini bagus banget.
Nggak rugi baca setebal ini. Sebab kita juga jadi ngerti sejarah dikit2. Kalau
mau dirating, saya bakal kasih novel ini 9.8 dari 10. Mantap abis. Cukup menggugah emosi pas baca buku ini.
Sepertinya sekian dulu review
saya. Kapan2 mungkin akan saya tulis juga tentang review buku lanjutannya yang
sekarang udah ada di tangan saya tapi entah kapan bakal selesai bacanya, ha
ha...
Buat kalian yang suka novel
historikal romantis, boleh lah saya rekomendasikan buat baca buku ini. Share
dong cerita kalian, apa novel paling romantis yang pernah kalian baca?
No comments:
Post a Comment